2024-03-17

Ciri Khas Kaum Sufi Dan Etika, Kondisi Dan Ilmu Yang Membedakan Mereka Dari Ulama Yang Lain


Kitab Al Luma' Fi Al Tashawwuf - MUKADIMMAH: V. Ciri Khas Kaum Sufi Dan Etika, Kondisi Dan Ilmu Yang Membedakan Mereka Dari Ulama Yang Lain

(RUJUKAN LENGKAP ILMU TASAWWUF)

Tulisan Abu Nashr Abdullah bin Ali as-Sarraj ath-Thusi yang diberi gelar Thawus al-Fuqara' (Si Burung Merak orang-orang fakir Sufi)

Syekh Abu Nashr as-Sarraj -- rahimahullah -- berkata: Hal pertama yang merupakan ciri khas kaum Sufi yang membedakannya dari ulama yang lain setelah mereka bisa melakukan semua kewajiban dan meninggalkan larangan, adalah meninggalkan hal-hal yang tidak dianggap perlu dan penting, memutus semua hubungan yang hanya akan menghambat antara mereka dengan apa yang diinginkan dan dituju. Sebab yang menjadi maksud dan tujuannya tak lain adalah al-Haq, Allah Azza wa Jalla.

Mereka memiliki adab (etika) dan kondisi spiritual yang beragam. Di antaranya adalah, merasa puas (qana'ah) dengan sedikit materi (dunia), sehingga tidak perlu yang banyak, mencukupkan diri dengan mengonsumsi makanan yang menjadi kebutuhan pokok. Sangat sederhana dalam sarana hidup yang tak mungkin ditinggalkan, seperti pakaian, tempat tidur, makanan dan lain-lain. Mereka lebih memilih miskin daripada kaya. Mereka bergelut dengan kesederhanaan dan menghindari kemewahan. Lebih memilih lapar daripada kenyang, sesuatu yang sedikit daripada yang banyak. Mereka tinggalkan kedudukan dan posisi terhormat (dimata manusia). Mereka korbankan pangkat dan kedudukan. Mereka curahkan kasih sayang kepada senua makhluk, ramah sopan dan rendah hati kepada yang muda maupun yang tua. Mengutamakan orang lain meskipun saat itu masih membutuhkannya. Mereka tidak pernah iri dan dengki serta tidak perduli terhadap mereka yang memiliki harta melimpah. Dirinya selalu berprasangka baik kepada Allah swt., ikhlas ketika bersaing dalam melakukan ketaatan dan kebaikan. Dirinya selalu menghadap kepada Allah swt. dan mencurahkan segalanya hanya untuk-Nya. Selalu bertahan dalam menghadapi cobaan dan bencana yang diberikan-Nya, rela (ridha) akan ketentuan (qadha')-Nya, bersabar dalam berjuang dan menggempur hawa nafsunya. Selalu menghindari kesukaan-kesukaan nafsu dan selalu menentangnya. Karena Allah telah menjelaskan, bahwa nafsu akan selalu memerintah kejelekan (amarah bi-su'), dan melihatnya sebagai musuh terbesar yang selalu berdampingan dengan Anda, sebagaimana sabda Nabi,

"Musuh engkau yang paling besar adalah hawa nafsu yang ada dalam dirimu sendiri." (HR. Al-Baihaqi)

(1). Dan diantara mereka etika (adab) dan prilaku mereka adalah selalu menjaga rahasia-rahasia hatinya dan selalu muraqabah (menjaga hak-hak Tuhan yang Mahaagung). Senantiasa menjaga hatinya, dengan membersihkannya dari bisikan-bisikan jelek, menenangkan pikiran-pikiran yang sibuk, dimana hanya Allah Yang mengetahuinya. Sehingga mereka menyembah Allah dengan penuh konsentrasi (hati yang hadir), tekad yang menyatu, niat yang murni dan maksud yang tulus. Sebab Allah swt. tidak menerima perbuatan-perbuatan hamba-Nya yang tidak ditujukan murni untuk-Nya. Allah berfirman,

"Ingatlah!! Hanya kepunyaan Allah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az-Zumar: 3).

(2). Wusul kepada al-Haq yang menjadi tujuan utamanya, ia tidak menginginkan yang lain selain apa yang dikehendaki-Nya.

Ini hanyalah awal sesuatu yang tampak dari berbagai hakikat yang muncul dan hakikat suatu kebenaran. Apakah Anda tidak melihat, bahwa Nabi pernah bertanya kepada Haritsah r.a.

"Setiap kebenaran (haq) tentu memiliki hakikat. Lalu apa hakikat keimananmu?"

Rahasia Karomah Para Wali


Banyak umat Islam dari kalangan pengikut ajaran ulama tradisional/salafiyah terus mencari jawaban tentang rahasia kesaktian para wali Allah yang lazimnya disebut karomah. Yang dengan karomah itu menjadikan para wali sebagai orang yang memiliki kemampuan "WERUH SAKDURUNGE WINARAH SECIDUH METU SEUCAP NYATA". Secara umum, tentu saja para pencari jawaban itu pun sudah bisa menjawabnya sendiri karena para wali itu merupakan orang-orang yang dikasihi Allah. Sudah sepantasnyalah sebagai para kekasih Allah, para wali memiliki karomah sebagai anugrah dari jerih payahnya yang selalu bertakwa dan bertawakal kepada-Nya.
 
Bertakwa artinya menjalankan semua perintah Allah dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya tanpa kecuali.
 
Bertawakal artinya selalu menggantungkan diri kepada Allah dalam menjalani hidupnya, semua yang dilakukannya hanya untuk dan kepada Allah.  Dalam melakukan ibadahnya, para wali juga terkadang tidak lagi memperdulikan akan keadaan dirinya. Mereka tidak takut karena hidup kekurangan atau sedih karena tidak ada makanan, yang diingat dan dilakukannya hanyalah melaksanakan ibadah kepada Allah, sebagaimana disinggung di dalam al-Qur'an:

أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ. الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus: 62 -63)

Dalam melakukan ibadah-ibadahnya, selain melakukan ibadah yang wajib, para wali juga terus-menerus melakukan berbagai peribadatan yang sunat, khususnya dzikir yang tiada henti-hentinya tanpa mengenal waktu dan keadaan; sambil duduk, sambil berbaring, sambil berdiri, sambil diam, atau sambil jalan dalam setiap tarikan dan hembusan nafasnya yang dikenal dengan istilah "dzikir nufus". Karena ibadah-ibadahnya yang tiada henti-hentinya itu, membuat para wali dicintai oleh Allah. Karena dicintai Allah, maka tidaklah, mengherankan kalau para wali mendapat karomah sebagai kemuliaan dari Allah bagi dirinya. Yang menjadi pertanyaannya adalah:

"APA SEBENARNYA KAROMAH ITU?" 

Atas pertanyaan tersebut, penulis mendapatkan jawabannya dari Al-Hadits berikut:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, Akulah yang menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan Akulah yang menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.... Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti keragu-raguan-Ku tentang pencabutan nyawa orang mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya.""  [HR. Bukhari]

Dari Al-Hadits tersebut dikatakan dengan jelas bahwa Alloh akan mewakili perbuatan orang yang dicintainya. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila para wali memiliki kemampuan: weruh sadurung winara seciduh metu saucap nyata  karena Allah mewakili penglihatan, ucapannya dan perbuatan lainnya sebagai tanda cinta-Nya kepada hamba yang terus mengabdi kepada-Nya. Apa yang tidak bagi Allah karena semua yang ada, Dia-lah yang mengadakannya. Jadi, itulah rahasia kesaktian para wali!

Berkaitan dengan karomah para wali itu, pantas saja apabila Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani menghendaki sesuatu beliau selalu berkata: "WA AMRII BI AMRILAAHI KUN ... YAKUN (Perintahku dengan perintah Allah, 'Jadi'..., akan jadi)". Demikian pula, waliyulloh Abdullah bin Syamhurus Al-Buhuri Wal-Anhar, beliau juga apabila menghendaki sesuatu selalu mengatakan: "BIAMRILAHII WABIFADHLIHI KUN ... YAKUN (Dengan perintah Alloh dan keutamaan-Nya, 'Jadi' ..., akan jadi)"  

Al-Hadits tersebut tadi, selain mengungkap rahasia kesaktian para wali, juga memberikan isyarat bagaimana caranya menjadi wali Allah, yaitu dengan menjalankan berbagai peribadatan, baik yang wajib maupun yang sunat.
 
Namun, mungkin para pembaca bertanya dalam jiwa:
"Saya sudah melakukan itu, tapi mengapa tidak menjadi wali?".

Berkenaan dengan pertanyaan pembaca tersebut, keterangan dari Aisyah barangkali merupakan jawabannya bahwa Rosululloh, Sholallohu Alaihi Wassalam selalu melakukan sholat malam hingga "kaki beliau menjadi bengkak". Hal itu mengisyaratkan bahwa Rosululloh melakukan shaolat malamnya dalam jumlah yang sangat banyak. Sebagaimana Ali, melakukan sholat malam itu seribu rakaat setiap malamnya. Sedangkan Usman, selalu melakukan dua rakaat sholat malamnya dengan mengkhatamkan Al-Qur'an dalam tiap rakaatnya, dan selalu berpuasa sepanjang tahunnya kecuali pada hari yang diharamkan berpuasa. Kemampuan Usman dalam melaksanakan sholat malam dengan menghatamkan Al-Qur'an dua kali, juga menunjukkan bahwa dalam perut Usman nyaris tidak ada makanan karena kalau perut orang normal mustahil tidak buang angin semalaman. Demikian pula sahabat-sahabat lainnya, dan para ahli ibadah selalu melakukan ibadah-ibadah sunat itu dalam jumlah yang mungkin kita tidak akan pernah mampu melakukannya.   

Demikian uraian ringkas tentang rahasia kesaktian para wali. Walaupun sangat ringkas, semoga bermanfaat.


Menelusuri Sejarah Tarekat Sufi


Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut. Di antara murid dan pengikut para Sufi terkemuka itu aktif mengikuti pendidikan formal di lembaga-lembaga pendidikan Sufi (ribbat, pesantren). Di antara Sufi yang memiliki banyak murid di antaranya ialah Junaid al-Baghdadi.

Dalam mengikuti pendidikan formal itu para murid mendapat bimbingan dan khibrah spiritual untuk mencapai peringkat kerohanian (maqam) tertentu dalam ilmu suluk. Di samping itu beberapa di antara mereka mendapat pengajaran ilmu agama, khususnya fiqih, ilmu kalam, falsafah dan tasawuf.

Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan teori tentang maqam (peringkat kerohanian).  Di antara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau `isyq (cinta), fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf (tersingkapnya penglihatan hati)

Arti Tariqah /Tarekat

Kata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan kerohanian. Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang muncul disebabkan pelaksanaan syariat agama, kerana kata syar (darimana kata syariat berasal) berarti jalan utama, sedang cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam yang lain.

Para Sufi merujuk Hadis yang menyatakan, “Syariat ialah kata-kataku (aqwali), tarekat ialah perbuatanku (a`mali) dan hakekat (haqiqa) ialah keadaan batinku (ahwali), Ketiganya saling terkait dan tergantung. Kemunculan tarekat Sufi juga sering dirujuk pada Hadis yang menyatakan, “Setiap orang mukmin itu ialah cermin bagi mukmin yang lain” (al-mu`min mir`at al-mu`minin). Mereka, para Sufi, melihat dalam tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Dengan cara demikian ‘cermin kalbu mereka menjadi lebih jernih/terang’. Nampaklah bahwa introspeksi merupakan salah satu cermin paling penting dalam jalan kerohanian Sufi.

Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan Tasawuf, yaitu persaudaraan Sufi yang didasarkan atas Cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan Sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi. 

Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud (asketik) yang merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqa) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan ithar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah. 

Yang disebut ithar ialah segala amalan dan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan kerabat dan sahabat dekat, termasuk soal-soal yang berhubungan dengan masalah ekonomi, keagamaan, rumah tangga, perkawinan, pendidikan, dan lain sebagainya. Di antara prakteknya yang berkembang menjadi budaya hingga sekarang, ialah melayani kerabat atau tamu dengan penuh kegembiraan dan sebaliknya sang tamu menerima layanan itu dengan penuh kegembiraan pula. Dalam suasana akrab pula terjadi saling tukar informasi dan pikiran, dan sering pula dilanjutkan dengan kerjasama dalam perdagangan, serta rancangan untuk saling menjodohkan anak-anak mereka.

Kanqah/Zawiah/Pondok

Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir kerana adanya seorang guru Sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak muncul di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abad ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.

Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi).

Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka. Ribat biasanya adalah sebuah komplek bangunan yang terdiri dari madrasah, masjid, pusat logistik dan tempat kegiatan lain termasuk asrama, dapur umum, klinik dan perpustakaan. Dapur dibuat dalam ukuran besar, begitu pula ruang tamu dan kamar-kamar asrama. Ini menunjukkan bahwa ribat setiap kali dikunjungi banyak orang, selain tempat berkumpulnya banyak orang.

Pada abad ke-13 M ketika Baghdad ditaklukkan tentara Mongol, kanqah serta ribat dan zawiyah berfungsi banyak. Karena itu tidak heran apabila di berbagai tempat organisasi kanqah tidak sama. Ada kanqah yang menerima subsidi khusus dari kerajaan, ada yang memperoleh dana dari sumber swasta yang berbeda-beda, termasuk dari sumbangan para anggota tarekat. Kanqah yang mendapat dana dari anggota sendiri dan mandiri disebut futuh (kesatria), dan mengembangkan etika futuwwa (semangat kesatria).

Salah satu contoh kanqah terkemuka ialah Kanqah Sa`id al-Su`ada yang didirikan pada zaman Bani Mameluk oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi pada tahun 1173 M di Mesir. Dalam kanqah itu hidup tiga ratus darwish, ahli suluk, guru sufi dan pengikut mereka, serta menjalankan banyak aktivitas sosial keagamaan. Organisasi kanqah dipimpin oleh seorang guru yang terkemuka disebut amir majlis.

Peranan

Sebagai bentuk organisasi sufi, tarekat ialah sebuah perkumpulan yang menjalankan kegiatan latihan rohani menggunakan metode tertentu. Biasanya metode itu disusun oleh seorang guru tasawuf yang juga ahli psikologi. Tarekat kadang disebut madzab, ri`aya dan suluk. Dalam tarekat seorang guru sufi (pir) membimbing seorang murid (talib) dalam cara berpikir dan berzikir; merasakan pengalaman keagamaan dan berbuat di jalan agama; serta bagaimana mencapai maqam (peringkat rohani) tertinggi seperti makrifat, fana dan baqa`, serta faqir. 

Pada mulanya tarekat berarti metode kontemplasi (muraqabah) dan penyucian diri atau jiwa (tadzkiya al-nafs). Oleh karena semakin banyak orang yang ingin mendapat latihan rohani tersebut, maka tarekat kemudian tumbuh menjadi organisasi yang kompleks. Penerimaan dan pembai`atan murid pun harus melalui ujian tertentu yang cukup berat.

Pada abad ke-10 M tarekat dapat dibedakan dalam dua model:

Model Iraq, yang diasaskan oleh Syekh Junaid al-Baghdadi.

Model Khurasan, yang diasaskan oleh Bayazid al-Bhistami.

Perbedaan keduanya mula-mula disebabkan kerana mengartikan tawakkul berbeda. Tetapi perbedaan yang paling jelas antara keduanya terlihat pada ciri dan penekanan latihan rohaniannya. Tarekat model Khurasan menekankan pada ghalaba (ekstase) dan sukr (kemabukan mistikal). Sedangkan model Iraq menekankan pada sahw (sobriety). 

Perbedaan lain: di Arab biasanya para sufi berkumpul di ribat, yang pada mulanya merupakan pos perhentian, rumah penginakan yang dahulunya ialah tangsi tentara. Sedangkan di Khurasan para sufi biasa berkumpul di kanqah atau sebuah pesanggrahan yang didirikan pengikut sufi yang kaya.Pesanggarahan berperanan sebagai rumah peristirahatan dan pertemuan informal. 

Tarekat-tarekat sufi yang besar dan memiliki banyak pengikut, yang tersebar di berbagai negeri dan saling berhubungan satu dengan yang lain secara aktif, biasa mendirikan organisasi sosial keagamaan atau organisasi dagang, yang disebut ta`ifa. Organisasi semacam ini pada mulanya tumbuh di Damaskus pada akhir abad ke-13 setelah penaklukan tentara Mongol. Organisasi ini segera tumbuh di berbagai negeri Islam. Di antara tarekat-tarekat besar yang aktif membina afilisasi dengan gilda-gilda yang banyak bermunculan pada abad ke-13 – 16 M di seantero dunia Islam ialah Tarekat Qadiriyah, Tarekat Shadiliyah, Tarekat Sattariyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Sanusiyah, Tarekat Tijaniyah, dan lain sebagainya.

Pada akhir abad ke-13 M, setelah penaklukan bangsa Mongol (Hulagu Khan) atas Baghdad ahli-ahli tasawuf dan tarekat memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam di India dan kepulauan Nusantara. Ini disebabkan hancurnya perlembagaan Islam dan terbunuhnya banyak ulama, cendekiawan, fuqafa, qadi, guru agama, filosof, ilmuwan, dan lain-lain akibat penghancuran kota-kota kaum Muslimin oleh tentara Mongol dan juga akibat Perang Salib yang berkepanjangan sejak abad ke-12 M. Hal ini dapat dimaklumi karena pada umumnya para ulama, cendekiawan, fuqaha, dan lain-lain itu berada di pusat-pusat kota dan sebagian besar bekerja di istana, sehingga ketika istana dan kota dihancurkan mereka pun ikut terbunuh. 

Sebaliknya, para sufi pada umumnya adalah orang yang mandiri dan suka mengembara ke berbagai pelosok negeri untuk mencari ilmu atau menyebarkan agama. Mereka memiliki banyak pos-pos perhentian di seantera negeri Islam dan murid-murid yang bertebaran di berbagai tempat. Di antara pengikut mereka tidak sedikit pula para pedagang yang aktif melakukan pelayaran ke berbagai negeri disertai rombongan pemimpin tarekat serta para pengikutnya. 

Di tempat tinggal mereka yang baru, para sufi itu aktif mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam, menyeru raja-raja Nusantara memeluk agama Islam, seraya mempelajari sistem kepercayaan masyarakat setempat dan kebudayaannya. Tidak sedikit pula dari mereka mempelopori lahir dan berkembangny tradisi intelektual dan keterpelajaran Islam, termasuk penulisan kitab keagamaan dalam bahasa setempat dan kesusastraan. Bangkitnya kesusastraan Islam di luar sastra Arab, seperti dalam bahasa Persia, Urdu, Turki Usmani, Sindhi, Swahili, Melayu, dan lain-lain dalam kenyataan dimulai dengan munculnya pengarang yang juga ahli tasawuf. Misalnya Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari dalam kesusastraan Melayu.

Tokoh-tokoh mereka yang terkemuka sebagai guru kerohanian tidak hanya menguasai ilmu tasawuf, tetapi juga bidang ilmu agama lain seperti fiqih, hadis, syariah, tafsir al-Qur’an, usuluddin, ilmu kalam, nahu, adab atau kesusastraan, tarikh (sejarah), dan lain sebagainya. Bahkan juga tidak jarang yang menguasai ilmu ketabibab, ilmu hisab (arithmatika), mantiq (logika), falsafah, ilmu falaq (astronomi), perkapalan, perdagangan, geografi, pelayaran, dan lain sebagainya. Dalam berdakwah tidak jarang mereka menggunakan media kesenian dan juga menggunakan budaya lokal. Dengan itu segera agama ini mempribumi dan berkat kegiatan mereka pula, terutama di kepulauan Melayu, kebudayaan penduduk setempat dengan mudah diintegrasikan ke dalam Islam.

2024-03-12

Rahasia Kalimat Allah


Kitab Teberubut
- Umat Islam yang berpegang teguh pada ALQURAN dan HADITS pasti memiliki sifat JUJUR dan CERDAS......

Abu Huraira R.A:

"Aku telah hafal dari Rasulullah dua macam ilmu: Pertama Ialah Ilmu yang Aku Di Anjurkan Untuk Menyebarluaskan (Mengajarkan) kepada Sekalian Manusia. Dan Yang Kedua Ialah Ilmu yang Aku Tidak Di Perintahkan Untuk Menyebarluaskan (mengajarkan) kepada Manusia. Maka Apabila Ilmu Ini Aku Sebarluaskan Niscaya Engkau Sekalian Akan Memotong Leherku.“ (HR. Thabrani)

Dan lagi berkata Sayidina Ali bin Abi Thalib Ra:

“Ya Tuhanku, mutiara sesuatu ilmu itu jikalau aku nyatakan dengan berterus terang niscaya akan dikatakan orang kepada aku: Engkau (Ali) adalah orang yang menyembah berhala. Dan sesungguhnya ada orang-orang Islam yang menghalalkan darahku. Mereka itu melihat perbuatan yang paling jahat yang mereka lakukan itu sebagai Perbuatan baik.”

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan JUJUR dan CERDAS sebagai seorang muslim..

Berdasarkan Pernyataan kedua Sahabat tersebut diatas maka:
  1. NABI MUHAMMAD RASULULLAH SAW telah mengajarkan ILMU YANG BERTENTANGAN DENGAN ILMU SYAREAT sehingga DIRAHASIAKAN DAN TIDAK BOLEH DI AJARKAN.
  2. NABI MUHAMMAD RASULULLAH SAW telah mengajarkan ILMU yang TIDAK BERTENTANGAN dengan ILMU SYAREAT namun DIRAHASIAKAN DAN TIDAK BOLEH DI AJARKAN.

Jika anda menjawab sesuai dengan jawaban No. 1 maka anda telah melepas PEMAHAMAN SYAREAT.............. namun jika anda menjawab dengan jawaban No. 2 maka anda seorang MUNAFIK ......dan jika anda menjawab selain kedua jawaban itu maka anda bukan muslim yang JUJUR dan CERDAS.............

Salah satu PERISTIWA yang diperlihatkan di dalam RAHASIANYA adalah sebagaimana Firman Allah swt dalam Alquran surat Al Kahfi 51:

“..Aku tidak menghadirkan mereka (Iblis dan anak cucunya) untuk menyaksikan PENCIPTAAN LANGIT DAN BUMI dan tidak pula PENCIPTAAN DIRI MEREKA SENDIRI, dan tidaklah aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.."

Diawali dengan "KOSONG"....... ketika ditarik masuk kedalam RAHASIANYA saat diperlihatkan Proses PENCIPTAAN ALAM SEMESTA.......

Diawali dengan "KOSONG"...... ketika ditarik masuk kedalam RAHASIANYA saat diperlihatkan Proses PENCIPTAAN DIRI SENDIRI....

Diawali dengan "KOSONG" ......ketika ditarik masuk kedalam RAHASIANYA saat "TUHAN MEMPERLIHATKAN DIRINYA........" 

"KOSONG" di tempat yang tiada bertempat, tidak ada apapun yang terlihat, tidak ada apapun yang berwujud dan tidak ada apapun yang hidup......kecuali "AKU"............

Jadi masalahnya bukan BISA ATAU TIDAK BISA MEMBUKTIKAN KEBENARAN ADANYA ALLAH (TUHAN) ...TETAPI APAKAH BISA MENERIMA KETIKA DITUNJUKKAN .......INILAH ALLAH DAN ITULAH ALLAH..... yang ZAHIR (NYATA) dan yang BATIN (GHAIB).........

"DIALAH YANG AWAL DAN YANG AKHIR, YANG ZAHIR DAN YANG BATIN, DAN DIA MAHA MENGETAHUI SEGALA SESUATU" ( Al Hadid: 3)

Sesungguhnya ALQURAN dan HADITS itu mengarahkan setiap manusia agar bisa MENGENAL DIRI SEBENAR BENARNYA DIRI.......tanpa memandang SUKU, AGAMA, RAS, dan ADAT ISTIADAT 

Sesungguhnya ALQURAN dan HADITS itu mengarahkan setiap manusia agar bisa MENEMUKAN ALQURAN YANG HIDUP YANG ADA DI DALAM DIRINYA SENDIRI........tanpa memandang SUKU, AGAMA, RAS, dan ADAT ISTIADAT 

Sesungguhnya ALQURAN dan HADITS itu mengarahkan setiap manusia agar bisa MENGENAL MUHAMMAD YANG ADA PADA DIRINYA SENDIRI......tanpa memandang SUKU, AGAMA, RAS, dan ADAT ISTIADAT 

Sesungguhnya ALQURAN dan HADITS itu mengarahkan setiap manusia agar bisa MENGENAL IBLIS / SETAN YANG ADA PADA DIRINYA SENDIRI......tanpa memandang SUKU, AGAMA, RAS, dan ADAT ISTIADAT 

Sesungguhnya ALQURAN dan HADITS itu mengarahkan setiap manusia agar bisa MENGENAL TUHANNYA SENDIRI........tanpa memandang SUKU, AGAMA, RAS, dan ADAT ISTIADAT 

Dan........KITAB TEBERUBUT membantu MEMUDAHKAN PEMAHAMANNYA...........tanpa memandang SUKU, AGAMA, RAS, dan ADAT ISTIADAT .................

Pemahaman KALIMAT ALLAH melalui penjabaran NAMA ALLAH yang menjadi KUNCI PEMBUKA untuk masuk ke pemahaman Ilmu Ma’rifattullah diantaranya adalah:

"PEMAHAMAN ALLAH MELIPUTI dan ADA DIDALAM SEGALA SESUATU di ALAM SEMESTA"

Firman Allah swt, Al Quran An Nisa: 126, yaitu:

“Kepunyaan Allah apa yang dilangit dan apa yang dibumi dan adalah ALLAH MAHA MELIPUTI SEGALA SESUATU“

(Silahkan baca uraian lengkap RAHASIA KALIMAT ALLAH di KITAB TEBERUBUT)

Amalan Dzikir Dan Cara Wushul Kepada Allah Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari


Abul Abbas Al-Mursy bercerita, “Aku bertanya kepada guruku berkenaan Dzikir orang-orang yang telah benar-benar sampai (wushul) kepada Allah.”

Beliau berkata, “Dengan cara menggugurkan hawa nafsu dan mencintai Tuhannya. Dan teguh memegang kecintaan itu, dibanding mencintai yang lain daripada Allah.”

“Siapa yang ingin bersahabat dengan Allah, maka seharusnya ia memulai dengan meninggalkan segala syahwat diri (kepentingan pribadi). Sang hamba tidak akan sampai kepada Allah, jika masih ada pada dirinya segala kesenangan dirinya. Dan tidak juga sampai, jika dalam dirinya ada segala keinginan.”

Ada sebuah cerita di lingkungan Thoriqoh, seseorang yang sudah sepuh sebut saja namanya Tholib yang sudah ikut thoriqoh 20 tahun menghadap mursyidnya.

Tholib: “maaf Yai, saya ini sudah menjalani thoriqoh 20 tahunan, ngaji terus.. tapi kok sepertinya saya ko nggak wushul-wushul dengan Gusti Allah ya, Apa yang salah pada diri saya Yai?“
Mursyid: Sambil tersenyum bijak beliau berkata, “Coba pak Tholib bertanya kepada anak muda yang namanya Badrun, di halaqoh Jakarta. Coba tanya kepada dia, bagaimana dia bisa cepat wushul padahal dia ikut thoriqoh cuma 2 tahunan saja.”

Tholib: ” Terima kasih Yai, saya besok akan ke Jakarta, untuk bertemu dengan Badrun.”

Singkat cerita pak Tholib berjumpa dengan Badrun di Halaqoh Pengajian Hikam di Jakarta, lalu dia bertanya:

Tholib: “ini mas Badrun ya?”
Badrun: ”Iya pak, maaf bapak ini siapa ya? kok saya baru melihat bapak disini.”
Tholib: “Oh iya kita sama thoriqohnya, cuma saya halaqohnya di Jawa Timur. Maksud kedatangan saya, karena saya disuruh Kyai Mursyid untuk berjumpa dengan mas Badrun.”
Badrun: ”Oh.. Kyai Mursyid sampai menugaskan Bapak bertemu dengan saya, apa ada urusan yang penting sekali pak?”

Tholib: “Tidak kok, tapi penting juga sih karena menyangkut perjalanan diri saya. Begini mas Badrun saya ini ikut thoriqoh sudah lama sekali loh, sudah 20 tahunan. Dan saya juga sudah paham dan yakin mengenai dunia tassawuf ini. Tapi itu semua baru terbatas kepada pemahaman ilmu dengan akal saya. Ruhani saya masih belum mengalami wushul dengan Gusti Allah.”

“Lalu kata Yai mursyid, saya disuruh bertanya kepada mas Badrun. Karena Yai Mursyid bilang mas Badrun sudah wushul? Tolong saya mas Badrun, bagaimana cara mas Badrun bisa cepat wushul dengan Gusti Allah? padahal mas Badrun ikut thoriqoh baru 2 tahunan.”

Badrun tersenyum, tanpa rasa bangga sedikitpun dia berkata:

”Begini pak Tholib, saya nggak bisa banyak menerangkan metoda atau ilmu mengenai ruhani. Karena saya yakin Bapak lebih menguasai daripada saya yang baru 2 tahunan ini.”

Lanjutnya Badrun: ”Cuma 1 yang saya terapkan didalam diri saya, sewaktu mulai ikut thoriqoh..”
Tholib: “Apa itu mas…?”
Badrun: “Di Awal perjalanan ruhani saya, saya coba tanamkan rasa RELA… pada hati saya.”
Tholib: “Maksudnya..?”

Badrun: ” Ya, saya RELA bahwa diri saya masih berada dalam awal perjalanan..
Saya RELA, bahwa diri saya masih baru dan harus selalu berusaha mengingat dihati melantunkan ALLAH.. ALLAH.. ALLAH..,
Saya Rela, bahwa saya BELUM bisa merasakan apa-apa di dalam Hati saya berupa rasa dekat dengan Allah…

Bahkan sampai saat ini saya pun RELA bahwa saya belum WUSHUL dengan ALLAH…..” (sambil berlinangan air mata Badrun… menanggung kerinduan Ruh-nya yang menggelegak untuk berjumpa dengan Tuhannya)

Tholib: ”Astaghfirullah………”

Dipeluknya Badrun erat erat… berdua mereka sesenggukkan.. Ruh mereka seolah “terbang” menuju hadirat-NYA.. lalu Pak Tholib seolah mendengar Mursyidnya berkata didalam relung hatinya yang terdalam…..

“Hai Tholib… Rasa RELA itulah yang sesungguhnya mempunyai NILAI Disisi Allah.. Karena sesungguhnya apabila ALLAH meRidhoi hambaNYA, maka DIA akan memberikan rasa ke-RELA-an dalam diri hamba-NYA dalam menjalani Takdir-NYA dengan penjagaan-NYA dalam menjalani Syariat-NYA.

Baik hamba-NYA yang sudah WUSHUL maupun yang sedang “berjalan menuju kepada-NYA”. Bukankah RIDHO-NYA yang kalian mau dari ALLAH? Artinya, sama saja antara orang yang sedang berjalan menuju wushul, dengan orang sudah wushul disisi Allah kalau Allah sudah meRidhoi kepada hamba-NYA, hanya tugasnya saja yang berbeda..”

CARA WUSHUL KEPADA ALLAH DARI KH. HASYIM ASY'ARI

Wushul adalah sampai, wushul ilaallah ialah melihat Allah dengan AINUL BASHIROH (mata hati) yang mana dalam keyakinan orang yang sudah wushul tersebut telah benar-benar yakin akan adanya Allah.

Hal ini berbeda dengan penglihatan mata secara dhahir. Wushul ini merupakan pengalaman kerohanian bukan secara nyata seperti halnya Nabi Musa yang secara jasmani takkan mampu melihat Allah, tetapi pingsannya Nabi Musa adalah tanda bahwa ruhaninya melihat Allah.

Terkait Wushul Setiap insan mempunyai potensi untuk wushul kepada Allah sesuai yang dikendaki-Nya, hal itu bisa dilalui melalui guru, berthariqot dan lain-lain.

Dalam kitabnya JAMI’AH AL-MAQHOSID, Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menjelaskan cara Wushul Kepada Allah sebagaimana berikut:

  1. Taubat (meninggalkan) dari segala hal yang haram dan yang makruh
  2. Mencari ilmu sesuai kebutuhan
  3. Melanggengkan diri dalam keadaan suci
  4. Melanggengkan diri untuk melakukan sholat fardhu di awal waktu dengan berjamaah
  5. Melanggengkan diri untuk melakukan sholat sunnah rawatib
  6. Melanggengkan diri untuk melaksanakan sholat dhuha sebanyak delapan rakaat
  7. Melanggengkan diri untuk melakukan sholat sunnah sebanyak enam rokaat diantara Magrib dan Isya
  8. Melakukan sholat malam dan Sholat witir
  9. Puasa sunnah di hari Senin dan Kamis
  10. Puasa sunnah tiga hari dalam ayyamuk biid (pertengahan bulan Hijriyah, ketika bulan purnama)
  11. Puasa di hari-hari mulia
  12. Membaca Al Quran dengan penuh penghayatan
  13. Memperbanyak Istighfar
  14. Memperbanyak sholawat kepada Nabi Muhammad SAW.
  15. Melanggengkan diri untuk membaca dzkir-dzikir yang disunnahkan di pagi hari dan sore hari.

Diantara dzikir-dzikir tersebut adalah:

Allahuma bika nusbihu wa bika numsi wa bika nuhyi wabika namutu wa ilaikan nusur shobahan wal masir masyaan, asabahna waasbaha milku lillahi walhamdu lillahi wal kibriyau wal adhomatu lillahi wal kholqu lillahi wal amru, wal lailu wannaharu ma wa ma sakana fihima lillahi. Allahumma ma asbaha bii min ni’matin aw biahadin min kholqika faminka wahdaka la syarika laka, falakal hamdu walakas syukru. (Dibaca 3x)

Allahumma inni asbahtu asyhaduka wa asyahadu hamlata ‘arsyika wa malaikatika wa jami’i kholkiak, innaka anta allahu la ilah illa anata wahdaka la syarika laka wa inna muhammad an ‘abduka wa rusuluka (Dibaca 4x)

Roditubillahi rabba wa bil islami dinan wabisayyidina muhammad in nabiyya warosulla (Dibaca 3x)

Amanar rosulu bima unzila ilaihi mir robbihi wal mu’mina kullun amana billahi wa malaikatuhu wa kutubihi wa rusuulihi la nuaffariqu baina ahadim min rusulihi wa qolu sami’na wa atho’na ghufronaka robbana wa ilaikal mashiru la yukallifullaahu nafsan illa wus’aha laha ma kasabat wa’ alaiha maktasabat robbana la taukhidna in nashina au akhho’na robbana wa la tahmil a’laina ishron kama hamaltahu a’lladzina min qoblina robbana wa la tuhammilna ma la thoqota lana bihi wa’fu anna waghfir lana warhamna anta maulana fanshurna ala qoumil kafirin, fain tawallau faqul hasbiyallahu la ilaha illa huwa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa robbul arsyil ‘adhim (Dibaca 7x).

Fa subhanallahi hina tumsunabwa hina tusbihun wa lahul hamdu…. hingga firman Allah “tuhrojuna” .

Surat Yasin

‘Audzu billahis sami’il ‘alimi minas syaithonir rojim (Dibaca 3x)

Lau anzalna hadzal qur’ana ala jabalin laroaitahum li sajidin.. hingga akhir surat.

Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas (Dibaca 3x)

‘Audzu bi kalimatillahit tammati min ghodobihi wa ‘iqobihi wa syarri ‘ibadihi wa min hamazatis syathini wa an yadhurruni (Dibaca 3x)

Astagfirullahal adhim alladzi la ilaha illa huwal hayyul qoyyumu wa atubu ilaihi (Dibaca 3x)

Jika masih memiliki waktu dianjurkan membaca:

Subahanallahi wal hamdu lillahi wala ilaha illallahu wallahu akbaru (100x)

Wa lahaula wa la quwawata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim (Dibaca 100x)

La ilaha illahu wahdahu la syarika lahu lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qodirun (Dibaca 100x atau 3x)

Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad in ‘abdika wa nabyyika wa habibika wa rosulikan nabiiyil ummiyil wa’ala alihi wa shohbihi wa sallim (Dibaca 100x atau 3x)

Demikian, semoga kita mendapat pertolonganNya, diberikan TaufiqNya agar mendapat hidayahNya meniti jalan yang benar sehingga kita dapat benar-benar wushul kepadaNya. (www.tebuireng.org, www.syadziliyah.web, www.muslimoderat.net)

Awwaludiini Ma'rifatulloh, Awal Agama Mengenal Allah


"Kebanyakan dari manusia hanya memikirkan tentang dunia padahal, kita perlu memikirkan siapa yang menciptakan dunia ini."

Didalam jiwa-jiwa yang tenang tersimpan kekuatan yang dahsyat yang mampu menaklukkan isi dunia.

Ilmu Ma’rifat, menajamkan mata hati

Ma’rifat adalah tingkat penyerahan diri kepada Allah secara berjenjang, secara tingkat demi setingkat sehingga sampai kepada tingkat keyakinan yang kuat. Orang yang memiliki ilmu ma’rifat dianggap sebagai orang yang ‘arif’, karena ia bisa memikirkan dalam-dalam tentang segala macam liku-liku kehidupan di dunia ini.

Oleh karena itu jika kita bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu ma’rifat, maka akan meraih suatu karomah. Karomah adalah keistimewaan yang tidak dimiliki orang awam. Bentuk karomah tersebut adalah mata hati kita menjadi awas dan indra keenam kita menjadi tajam. Jika indra keenam menjadi tajam, kita akan dapat mengetahui sesuatu yang tersembunyi di balik peristiwa.

Orang yang mata hatinya dan indra keenamnya tajam, maka ia dapat masuk ke dalam hal-hal yang dianggap gaib (tersembunyi). Orang yang arif (memiliki ilmu ma’rifat), suka memperhatikan tanda-tanda kebesaran Allah dengan mata kepalanya, kemudian ia merenungkan dengan mata hatinya.

Orang ma’rifat jika melakukan sesuatu atau memutuskan sesuatu menggunakan nuraninya daripada hawa nafsunya. Ia tahu betul, apakah hawa nafsu yang mempengaruhi dirinya atau nuraninya yang berkata. Oleh karena itu, orang yang sudah menduduki tingkat ini, selalu tajam indera keenamnya. Ia tahu sesuatu yang merugikan bagi dirinya meskipun tampak seakan-akan menguntungkan. Ia pun tau apa yang menguntungkan, meskipun seakan-akan tampak seperti merugikan.

Maka, jangan heran, kadang-kadang orang awam memandang sesuatu itu baik dan menguntungkan, namun bagi orang ma’rifat (orang yang tajam indera keenamnya), dipandang sebagai sesuatu yang membahayakan.

Melihat kebaikan dan keburukan dengan mata kepala saja tidak akan dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sesuatu yang elok dipandang mata kadang-kadang hanyalah tipuan belaka. Sesuatu yang buruk dipandang mata, kadang-kadang tersimpan sesuatu yang menguntungkan. Maka betapa pentingnya jika kita berlatih untuk mempertajam mata hati dan indera keenam.

Buta mata belum tentu membahayakan bagi kehidupan kita. Karena banyak orang yang buta matanya, tetapi masih mampu melakukan sesuatu yang terbaik bagi dirinya. Bahkan ia mempunyai keistimewaan, yakni lebih awas daripada kita yang memiliki mata normal. Namun jika mata hati telah buta, maka pertanda hancurlah kehidupan kita, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.

Orang yang buta hatinya, seringkali merasa kecewa dalam menghadapi liku-liku kehidupannya, karena ia sering gagal dalam mengambil keputusan. Keputusannya lebih banyak meleset. Sebab, yang digunakan untuk mengambil keputusan lebih didasarkan pada penglihatan mata dan akal yang dipenuhi hawa nafsu. Jadinya, ia kurang cermat dan kurang hati-hati. Ia mudah terkecoh dengan fatamorgana serta khayalan-khayalannya sendiri.

“Dan barang siapa yang buta mata hatinya di dunia ini, maka buta pula di akhirat, jauh tersesat jalannya.”

“Sesungguhnya, bukan matanya yang buta, tetapi mata hatinyalah yang buta, yang berada di rongga dadanya.”

Oleh karena itu, betapa pentingnya kita mempelajari ilmu ma’rifat. Dengan ilmu ma’rifat, hati dan alam bawah sadar kita terhindar dari ‘kebutaan’. Hati kita menjadi jernih sehingga setiap apa yang kita pikirkan dan kita lakukan akan mendatangkan hasil yang menguntungkan.

Orang yang ma’rifat, selalu berprasangka baik kepada siapapun. Ia juga selalu berprasangka baik kepada Allah swt. Tidak pernah berkeluh kesah dalam hidupnya. Ia selalu merasa dekat kepada Allah. Selalu merasa cinta, penuh harapan dan hatinya terasa senantiasa tenteram.

Ilmu ma’rifat mengantarkan kita kepada suasana hati ikhlas dalam berbuat apa saja, lebih-lebih beribadah kepada Allah. Ibadahnya dilakukan tanpa pamrih dan tanpa keinginan dipuji orang lain.

Orang-orang ma’rifat menganggap jika perbuatan dilakukan tidak dengan ikhlas, tetapi dengan pamrih, maka akan mengotori jiwanya. Jika jiwa kotor, hati akan berdebu. Bila hati berdebu berarti mata batin dan indera keenam telah buta.

Golongan orang-orang ini selalu menjaga hatinya dan alam bawah sadarnya agar tidak tercemar oleh debu-debu yang dapat membutakan. Karena itu, suasana hati orang-orang ma’rifat selalu tenteram karena selalu berprasangka baik kepada siapa pun, tidak membenci, tidak dendam, tidak iri hati, tidak sombong dan tidak riya’.

Sebab, sederetan penyakit semisal sombong, benci, dendam, iri hati dan sebagainya merupakan letupan emosi, bukan nurani yang berbicara, melainkan nafsu keserakahan.

Jika kita telah mendalami ilmu ma’rifat dengan bersungguh-sungguh, maka akan dapat melihat betapa diri kita menjadi orang yang luar biasa. Mungkin kita akan terheran-heran. Karena jika ilmu ma’rifat telah dikuasai, maka seseorang akan dapat mengenal Allah, sehingga antara dirinya dan Allah seakan-akan tidak ada batas/perantara, sehingga seakan-akan mampu berhubungan langsung.

Disamping itu, kita akan dapat dengan mudah menyerahkan hawa nafsu menurut kehendak Allah. Kita merasa tidak punya hak untuk memiliki, sekalipun pada diri sendiri. Karena menyadari segala sesuatu yang ada di dunia ini hanyalah milik Allah, termasuk nyawa kita.

2024-03-11

Sufi Dalam Pandangan KH. Hayyi Muhyidin al Amin


"Seorang sufi adalah mereka yang dapat menggabungkan antara fiqih dengan perbuatan, antara perkataan dengan pelaksanaan. Kemudian penggabungan tersebut menghasilkan kondisi rohani tertentu.

Seorang yang sufi lebih dari sekedar dari seorang yang zuhud, karena sikap zuhud terhadap dunia hanyalah sikap tidak butuh terhadap dunia, dimana mereka menganggap bahwa dunia memang tidak ada nilainya. 

Sedangkan seorang sufi tidak bersikap zuhud kecuali terhadap hal-hal yang membuatnya terhijab dari Allah SWT. Oleh karena itu orang sufi menjadikan dunia hanya berada dalam genggaman mereka saja. Mereka tidak menjadikan dunia tersebut bersemayam di dalam hati mereka".

(KH. Hayyi Muhyidin al Amin: Blimbing Kota Malang)