2024-03-26

Makna Esoterik Lafadz Basmallah


“Para Sufi berkata, rahasia Al-Quran berada dalam Al-Fatihah. Rahasia Al-Fatihah berada dalam Bismillahir Rahmanir Rahim. Intisari Bismillah berada dalam Huruf Ba. Dan di bawah huruf itu terdapat titik. Titik di bawah Huruf Ba itulah yang mewujudkan seluruh jagat raya.” 

Tuhan di dalam Dzat-Nya adalah laysa kamitslihi syai’un, tan kena kinaya ngapa, tak bisa dikenali sama sekali. Tuhan di dalam Dzat-Nya adalah suwung, sunya, kekosongan abadi, dan itulah Titik Ba. Tetapi, dalam kesuwungan-Nya, segala potensi keberadaan terkandung di dalamnya, suwung hamengku ana (kekosongan yang memangku keberadaan). 

Lalu, secara misterius, dalam Titik Ba itu kemudian muncul kehendak, ego pertama di jagat raya, dan itulah Ismu Allah, Ingsun, pribadi pertama di jagat raya yang belum mengenal dualitas. Ismu Allah ini kemudian ingin dikenali segenap potensi yang dikandung-Nya, lalu muncullah positif dan negatif, on dan off, lingga dan yoni, purusha dan prakrti, lelaki dan dan perempuan, Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi, Ang dan Ah, dan itulah Rahman-Rahim. 

Melalui dualitas Rahman Rahim itulah jagat raya kemudian tergelar sedemikian rupa. Titik Ba—Ismu Allah—Rahman-Rahim—Jagat Raya. Bismillahir Rahmanir Rahim. Kang gumulung bakal gumelar, kang gumelar bakal gumulung. Hong wilaheng sekaring bawana langgeng...

Tahlilan Dipraktekkan Oleh Umar Dan Ulama Salaf


TAHLILAN HARI KE 3, 7, 25, 40, SETAHUN & 1000, BUKAN BID’AH, DIPRAKTEKKAN OLEH UMAR DAN ULAMA SALAF

Inilah Dalil tahlilan Jumlah Hari 3, 7, 25, 40, 100, (setahun) dan 1000 hari dari kitab Ahlusunnah Wal Jama’ah (bukan kitab dari agama hindu sebagaimana tuduhan fitnah kaum WAHABI)


ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻫﺪﻳﺔ ﺇﻟﻰﺍﻟﻤﻮتى

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ : ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺪﻓﻨﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺧﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺇﻟﻰ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﺋﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﺋﺔ ﺇﻟﻰ ﺳﻨﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻟﻒ عام (الحاوي للفتاوي ,ج:۲,ص: ١٩٨


"Rasulullah saw bersabda: “Doa dan shodaqoh itu hadiah kepada mayyit.
Berkata Umar: “shodaqoh setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan shodaqoh dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shodaqoh tujuh hari akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari.”


Referensi: (Al-Hawi lil Fatawi Juz 2 Hal 198)


Jumlah-jumlah harinya (3, 7, 25, 40, 100, setahun & 1000 hari) jelas ada dalilnya, sejak kapan agama Hindu ada Tahlilan???


Berkumpul ngirim doa adalah bentuk shodaqoh buat mayyit.

ﻓﻠﻤﺎ ﺍﺣﺘﻀﺮﻋﻤﺮ ﺃﻣﺮ ﺻﻬﻴﺒﺎ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ، ﻭﺃﻣﺮ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻃﻌﺎﻡ، ﻓﻴﻄﻌﻤﻮﺍ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﺘﺨﻠﻔﻮﺍ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ، ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺟﻌﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ﺟﺊ ﺑﺎﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﻭﺿﻌﺖ ﺍﻟﻤﻮﺍﺋﺪ ! ﻓﺄﻣﺴﻚ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﻬﺎ ﻟﻠﺤﺰﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻢ ﻓﻴﻪ ، ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻄﻠﺐ : ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺪ ﻣﺎﺕ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﻣﺎﺕ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﺇﻧﻪ ﻻﺑﺪ ﻣﻦ ﺍﻻﺟﻞ ﻓﻜﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ، ﺛﻢ ﻣﺪ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﻳﺪﻩ ﻓﺄﻛﻞ ﻭﻣﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻳﺪﻳﻬﻢ ﻓﺄﻛﻠﻮﺍ


Ketika Umar sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi

 makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan–hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib :


Wahai hadirin.. sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang pasti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau mengulurkan tangannya dan makan, maka orang – orang pun mengulurkan tangannya masing – masing dan makan.


Referensi: [Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqat Al Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110]


Kemudian dalam kitab Imam As Suyuthi, Al-Hawi li al-Fatawi:

ﻗﺎﻝ ﻃﺎﻭﻭﺱ : ﺍﻥ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻳﻔﺘﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﻗﺒﻮﺭﻫﻢ ﺳﺒﻌﺎ ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﺴﺘﺤﺒﻮﻥ ﺍﻥ ﻳﻄﻌﻤﻮﺍ ﻋﻨﻬﻢ ﺗﻠﻚ ﺍﻻﻳﺎﻡ

Imam Thawus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan

 mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat) gemar menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut.”

ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﻴﺮ ﻗﺎﻝ : ﻳﻔﺘﻦ ﺭﺟﻼﻥ ﻣﺆﻣﻦ ﻭﻣﻨﺎﻓﻖ , ﻓﺎﻣﺎ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺳﺒﻌﺎ ﻭﺍﻣﺎﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻖ ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺍﺭﺑﻌﻴﻦ ﺻﺒﺎﺣﺎ


Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari.


Dalam tafsir Ibn Katsir (Abul Fida Ibn Katsir al Dimasyqi Al Syafi’i) 774 H beliau mengomentari ayat 39 surah an Najm (IV/236: Dar el Quthb), beliau mengatakan Imam Syafi’i berkata bahwa tidak sampai pahala itu, tapi di akhir-akhirnya beliau berkomentar lagi

ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﺬﺍﻙ ﻣﺠﻤﻊ ﻋﻠﻰ ﻭﺻﻮﻟﻬﻤﺎ ﻭﻣﻨﺼﻮﺹ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ


Bacaan Alquran yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai, Menurut Imam Syafi’i pada waktu beliau masih di Madinah dan di Baghdad, qaul beliau sama dengan Imam Malik dan Imam Hanafi, bahwa bacaan al-Quran tidak sampai ke mayit, Setelah beliau pindah ke mesir, beliau ralat perkataan itu dengan mengatakan bacaan alquran yang dihadiahkan ke mayit itu sampai dengan ditambah berdoa “Allahumma awshil.…dst.”, lalu murid beliau Imam Ahmad dan kumpulan murid-murid Imam Syafi’i yang lain berfatwa bahwa bacaan alquran sampai.


Pandangan Hanabilah, Taqiyuddin Muhammad ibnu Ahmad ibnu Abdul Halim (yang lebih populer dengan julukan Ibnu Taimiyah dari madzhab Hambali) menjelaskan:

ﺍَﻣَّﺎ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻓَـِﺎﻧَّﻪُ ﻳَﻨْـﺘَـﻔِﻊُ ﺑِﻬَﺎ ﺑِﺎﺗِّـﻔَﺎﻕِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ. ﻭَﻗَﺪْ ﻭَﺭَﺩَﺕْ ﺑِﺬٰﻟِﻚَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ُﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍَﺣَﺎ ﺩِﻳْﺚُ ﺻَﺤِﻴْﺤَﺔٌ ﻣِﺜْﻞُ ﻗَﻮْﻝِ ﺳَﻌْﺪٍ ( ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍِﻥَّ ﺍُﻣِّﻲْ ﺍُﻓْﺘـُﻠِﺘـَﺖْ ﻧَﻔْﺴُﻬَﺎ ﻭَﺍَﺭَﺍﻫَﺎ ﻟَﻮْ ﺗَـﻜَﻠَّﻤَﺖْ ﺗَﺼَﺪَّﻗَﺖْ ﻓَﻬَﻞْ ﻳَﻨْـﻔَـﻌُﻬَﺎ ﺍَﻥْ ﺍَﺗَـﺼَﺪَّﻕَ ﻋَﻨْﻬَﺎ ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻧَـﻌَﻢْ , ﻭَﻛَﺬٰﻟِﻚَ ﻳَـﻨْـﻔَـﻌُﻪُ ﺍﻟْﺤَﺞُّ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍْﻻُ ﺿْﺤِﻴَﺔُ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍﻟْﻌِﺘْﻖُ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﻭَﺍْﻻِﺳْﺘِـْﻐﻒُﺭﺍَ ﻟَﻪُ ﺑِﻼَ ﻧِﺰﺍَﻉٍ ﺑَﻴْﻦَ ﺍْﻷَﺋِﻤَّﺔِ .


Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat Islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi Saw. seperti perkataan sahabat Sa’ad “Ya Rasulallah sesungguhnya ibuku telah wafat, dan aku berpendapat jika ibuku masih hidup pasti ia bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya?” maka Beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit: haji, qurban, memerdekakan budak, do’a dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam”.

Referensi : (Majmu’ al-Fatawa: XXIV/314-315)


Ibnu Taimiyah juga menjelaskan perihal diperbolehkannya menyampaikan hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada:


ﻓَﺎِﺫَﺍ ﺍُﻫْﺪِﻱَ ﻟِﻤَﻴِّﺖٍ ﺛَﻮَﺍﺏُ ﺻِﻴﺎَﻡٍ ﺍَﻭْ ﺻَﻼَﺓٍ ﺍَﻭْ ﻗِﺮَﺋَﺔٍ ﺟَﺎﺯَ ﺫَﻟِﻚَ


Artinya: “jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-Qur’an / kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”.

Referensi : (Majmu’ al-Fatawa: XXIV/322)


Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin Ibn al-Syarof, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi menegaskan;


ﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻤْﻜُﺚَ ﻋَﻠﻰَ ﺍْﻟﻘَﺒْﺮِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺪُّﻓْﻦِ ﺳَﺎﻋَـﺔً ﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻠْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﻳَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻝُﻩَ. ﻧَـﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻰُّ ﻭَﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍْﻻَﺻْﺤَﺎﺏُ ﻗَﺎﻟﻮُﺍ: ﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻘْﺮَﺃَ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺷَﻴْﺊٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺃَﻥِ ﻭَﺍِﻥْ خَتَمُوْا اْلقُرْآنَ كَانَ  اَفْضَلَ ) المجموع جز 5 ص 258(

Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunnah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai mengha tamkan al-Qur’an”.


Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini;

ﻭَﻳُـﺴْـﺘَﺤَﺐُّ ﻟِﻠﺰَّﺍﺋِﺮِ ﺍَﻥْ ﻳُﺴَﻠِّﻢَ ﻋَﻠﻰَ ﺍْﻟﻤَﻘَﺎﺑِﺮِ ﻭَﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺰُﻭْﺭُﻩُ ﻭَﻟِﺠَﻤِﻴْﻊِ ﺍَﻫْﻞِ ﺍْﻟﻤَﻘْﺒَﺮَﺓِ. ﻭَﺍْﻻَﻓْﻀَﻞُ ﺍَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻭَﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﺑِﻤَﺎ ﺛَﺒـَﺖَ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻭَﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَﻘْﺮَﺃَ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺃٰﻥِ ﻣَﺎ ﺗَﻴَﺴَّﺮَ ﻭَﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟَﻬُﻢْ ﻋَﻘِﺒَﻬَﺎ ﻭَﻧَﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﺎِﻓﻌِﻰُّ ﻭَﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍْﻻَﺻْﺤَﺎﺏُ. (ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﺟﺰ 5 ص 258 )


Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya”.


Referensi : (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, V/258)


Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hambali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal

ﻗَﺎﻝَ : ﻭَﻻَ ﺑَﺄْﺱَ ﺑِﺎﻟْﻘِﺮﺍَﺀَﺓِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍْﻟﻘَﺒْﺮِ . ﻭَﻗَﺪْ ﺭُﻭِﻱَ ﻋَﻦْ ﺍَﺣْﻤَﺪَ ﺍَﻧَّـﻪُ ﻗَﺎﻝَ: ﺍِﺫﺍَ ﺩَﺧَﻠْﺘﻢُ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺑِﺮَ ﺍِﻗْﺮَﺋُﻮْﺍ ﺍَﻳـَﺔَ ﺍْﻟﻜُـْﺮﺳِﻰِّ ﺛَﻼَﺙَ ﻣِﺮَﺍﺭٍ ﻭَﻗُﻞْ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻠﻪ ُﺍَﺣَﺪٌ ﺛُﻢَّ ﻗُﻞْ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍِﻥَّ ﻓَﻀْﻠَﻪُ ِﻷَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺑِﺮِ .


Artinya: “al-Imam Ibnu Qudamah berkata: tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hambal bahwasanya beliau berkata: Jika hendak masuk kuburan atau makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan do’a: Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.

Referensi : (al-Mughny II/566)

Dalam al Adzkar dijelaskan lebih spesifik lagi seperti di bawah ini:

ﻭَﺫَﻫَﺐَ ﺍَﺣْﻤَﺪُ ْﺑﻦُ ﺣَﻨْﺒَﻞٍ ﻭَﺟَﻤَﺎﻋَﺔٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﻭَﺟَﻤَﺎﻋَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺍَﺻْﺤَﺎﺏِ ﺍﻟﺸَّﺎِﻓـِﻌﻰ ﺍِﻟﻰَ ﺍَﻧـَّﻪُ ﻳَـﺼِﻞُ . ﻓَﺎْﻻِ ﺧْﺘِـﻴَﺎﺭُ ﺍَﻥْ ﻳَـﻘُﻮْﻝَ ﺍﻟْﻘَﺎﺭِﺉُ ﺑَﻌْﺪَ ﻓِﺮَﺍﻏِﻪِ: ﺍَﻟﻠََّﻬُﻢَّ ﺍَﻭْﺻِﻞْ ﺛَـﻮَﺍﺏَ ﻣَﺎ ﻗَـﺮﺃْ ﺗـُﻪُ ﺍِﻟَﻰ ﻓُﻼَﻥٍ . ﻭَﺍﻟﻠﻪ ُﺍَﻋْﻠَﻢُ


Artinya: Imam Ahmad bin Hambal dan golongan ulama’ dan sebagian dari sahabat Syafi’i menyatakan bahwa pahala do’a adalah sampai kepada mayit. Dan menurut pendapat yang terpilih: “Hendaknya orang yang membaca al-Qur’an setelah selesai untuk mengiringi bacaannya dengan do’a:

ﺍَﻟﻠََّﻬُﻢَّ ﺍَﻭْﺻِﻞْ ﺛَـﻮَﺍﺏَ ﻣَﺎ ﻗَـﺮﺃْ ﺗـُﻪُ ﺍِﻟَﻰ ﻓُﻼَﻥٍ


Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan al-Qurh’an yang telah aku baca kepada si fulan (mayit)”.

Sumber dari kitab al-Adzkar al-Nawawi hal 150.

Naik Turunnya Nafas Dalam Dzikir



"Jika Asma Allah diucapkan sekali saja dengan lisan, itu disebut dzikir (mengingat) lisan, namun jika Nama Allah diingat dengan hati, maka itu akan sebanding dengan dengan tiga puluh lima juta ucapan-ucapan (dzikir) lisan, itulah dzikir hati atau dzikir sirr..

Ada 35 juta pembuluh darah dalam tubuh, dan semua terhubung ke jantung, Jika Nama Allah diucapkan bahkan sekali saja (dengan hati) maka semua yang mengalir mengucapkan juga..

Rasulullah saw bersabda: “Wahai Abu Dzarr, Berzikirlah kepada Allah dengan zikir khamilan”

Abu Dzarr bertanya: “Apa itu khamilan?”

Sabda Rasul: “Khafi (dalam hati)”

TAHAP pertama zikir adalah zikir LISAN, Kemudian zikir KALBU yang cenderung diupayakan dan dipaksakan, Selanjutnya zikir kalbu yang berlangsung secara lugas, tanpa perlu dipaksakan, Serta yang terakhir adalah ketika Allah sudah berkuasa di dalam kalbu disertai sirnanya zikir itu sendiri..

Inilah rahasia dari sabda Nabi saw: ”Siapa ingin bersenang-senang di taman surga, perbanyaklah mengingat Allah”

TANDA bahwa sebuah zikir sampai pada SIR (nurani yang terdalam yang menjadi tempat cahaya penyaksian) adalah ketika pelaku zikir dan objek zikirnya lenyap tersembunyi..

Zikir Sir terwujud ketika seseorang telah terliputi dan tenggelam di dalamnya, Tandanya, apabila engkau meninggalkan zikir tersebut ia takkan meninggalkanmu..

Zikir tersebut terbang masuk ke dalam dirimu untuk menyadarkanmu dari kondisi tidak sadar kepada kondisi hudhur (hadirnya kalbu), Salah satu tandanya, zikir itu akan menarik kepalamu dan seluruh organ tubuhmu sehingga seolah–olah tertarik oleh rantai..

Indikasinya, zikir tersebut tak pernah padam dan cahayanya tak pernah redup, Namun engkau menyaksikan cahayanya selalu naik turun, sementara api yang ada di sekitarmu senantiasa bersih menyala..

Zikir yang masuk ke dalam sir terwujud dalam bentuk diamnya si pelaku zikir seolah–olah lisannya tertusuk jarum Atau semua wajahnya adalah lisan yang sedang berzikir dengan cahaya yang mengalir darinya..

KETAHUILAH, setiap zikir yang disadari oleh kalbumu didengar oleh para malaikat penjaga, Sebab perasaan mereka beserta perasaanmu, di dalamnya ada sir sampai saat zikirmu sudah gaib dari perasaanmu karena engkau sudah sirna bersama Tuhan, zikirmu juga gaib dari perasaan mereka..

Kesimpulannya, berzikir dengan ungkapan kata–kata tanpa rasa hudhur (kehadiran hati) disebut zikir lisan, berzikir dengan merasakan kehadiran kalbu bersama Allah disebut zikir kalbu, sementara berzikir tanpa menyadari kehadiran segala sesuatu selain Allah disebut Zikir Sir, itulah yang disebut dengan Zikir Khafiy..

Allah SWT berfirman: “Dan berzikirlah kepada Tuhanmu dalam hatimu (nafsika) dengan merendahkan dirimu dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara di waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang yang lalai” (QS 7 : 205)

REZEKI lahiriah terwujud dengan gerakan badan, REZEKI batiniah terwujud dengan gerakan kalbu, REZEKI sir terwujud dengan diam, sementara
REZEKI akal terwujud dengan fana dari diam sehingga seorang hamba tinggal dengan tenang untuk Allah dan bersama Allah..

Nutrisi dan makanan bukanlah konsumsi rohani, melainkan konsumsi badan, Adapun yang menjadi konsumsi rohani dan kalbu adalah mengingat Allah Zat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib..

Allah SWT berfirman: “Orang–orang beriman dan kalbu mereka tenteram dengan mengingat (zikir kepada) Allah.”

Semua makhluk yang mendengarmu sebenarnya juga ikut berzikir bersamamu, Sebab engkau berzikir dengan lisanmu, lalu dengan kalbumu, kemudian dengan nafs–mu, kemudian dengan rohmu, selanjutnya dengan akalmu, dan setelah itu dengan sirmu..

Bila engkau berzikir dengan lisan, pada saat yang sama semua benda mati akan berzikir bersamamu..

Bila engkau berzikir dengan kalbu, pada saat yang sama alam beserta isinya ikut berzikir bersama kalbumu..

Bila engkau berzikir dengan nafs–mu, pada saat yang sama seluruh langit beserta isinya juga turut berzikir bersamamu....

Bila engkau berzikir dengan rohmu, pada saat yang sama singgasana Allah (‘Arsy) beserta seluruh isinya ikut berzikir bersamamu..

Bila engkau berzikir dengan akalmu, para malaikat pembawa Arsy dan roh orang–orang yang memiliki kedekatan dengan Allah juga ikut berzikir bersamamu..

Bila engkau berzikir dengan sirmu, Arsy beserta seluruh isinya turut berzikir hingga zikir tersebut bersambung dengan zat–Nya..

Imam al-Baqir dan Imam ash-Shadiq as berkata: “Para malaikat tidak mencatat amal shalih seseorang kecuali apa-apa yang didengarnya, maka ketika Allah berfirman: “Berzikirlah kepada Tuhanmu dalam hatimu (nafsika)”, tidak ada seorangpun yang tahu seberapa besar pahala zikir di dalam hati dari seorang hamba-Nya kecuali Allah Ta’ala sendiri”..

DI DALAM riwayat lainnya disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Zikir diam (khafiy) 70 kali lebih utama daripada zikir yang terdengar oleh para malaikat pencatat amal.. “ (Al-Hadits)

Bila sang hamba mampu melanggengkan Zikir Khafi serta meyakini bahwa semua Alam Lahir dan Alam Batin merupakan pengejewantahan dari nama-nama-Nya maka ia akan merasakan kehadiran-Nya di semua tempat dan merasakan pengawasan-Nya dan jutaan nikmat-nikmat-Nya..

Perasaan akan kehadiran-Nya ini akan mencegah sang hamba dari berbuat dosa dan maksiat..

2024-03-25

Kontroversi Kaum Sufi Terhadap Mutafaqqih, Keterangan Tentang Fiqih Dalam Agama Dan Argumentasinya


Kitab Al Luma' Fi Al Tashawwuf - MUKADIMMAH: VIII. Kontroversi Kaum Sufi Terhadap Mutafaqqih, Keterangan Tentang Fiqih Dalam Agama Dan Argumentasinya

(RUJUKAN LENGKAP ILMU TASAWWUF)

Tulisan Abu Nashr Abdullah bin Ali as-Sarraj ath-Thusi yang diberi gelar Thawus al-Fuqara' (Si Burung Merak orang-orang fakir Sufi)

Syekh Abu Nashr as-Sarraj -- rahimahullah -- berkata: Diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda:

"Barang siapa dikehendaki Allah untuk menjadi baik, maka dia akan memberikan kepahaman (faqih) tentang agama" (HR. Bukhari-Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi, al-Bazzar, ath-Thabrani)

Saya pernah mendengar dari Hasan al-Bashri, bahwa pernah dikatakan padanya,
"Si Fulan itu seorang faqih."

Mendengar pernyataan itu ia lalu bertanya,
"Apakah engkau pernah melihat orang yang benar-benar faqih sama sekali? Sesungguhnya seorang yang benar-benar faqih adalah orang yang zuhud dalam hal dunia, rindu akan akhirat dan arif terhadap masalah keagamaannya."

Firman Allah swt.,

"...untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama." (QS. at-Taubah: 122).

Maka agama adalah sebuah nama yang mencakup seluruh aspek hukum, baik lahir maupun batin.

Sementara itu, memperdalam (tapaqquh) hukum-hukum yang berkaitan dengan talak, pembebasan budak, zhihar, qishash, sumpah dan hukum pidana (hudud). Sebab hukum-hukum tersebut, bisa saja dalam seumur hidup tidak pernah ada kejadian yang membutuhkan pada ilmu yang berkaitan dengannya. Kalaupun misalnya ada sebuah peristiwa, maka orang yang bertanya akan gampang mengikuti (taklid) dan mengambil pendapat sebagian para ahli fiqih. Dan akhirnya gugurlah kewajiban itu hingga terjadi peristiwa yang lain.

Sedangkan berbagai kondisi spiritual, kedudukan spiritual (maqam) dan perjuangan spiritual (mujahadat) dimana kaum Sufi berusaha mendalami dan memahaminya, serta membicarakan tentang hakikatnya maka setiap mukmin selalu membutuhkannya setiap waktu dan wajib mengetahuinya. Tak ada waktu tertentu yang bersifat kondisional atau kasuistik, sehingga di waktu lain tidak diperlukan. Kondisi dan kedudukan spiritual, seperti kejujuran (ash-shidq), ikhlas, dzikir, menghindari kelalaian untuk berdzikir dan lain-lain, adalah tidak membutuhkan waktu tertentu. Akan tetapi wajib bagi semua hamba dalam setiap detik dan geraknya untuk mengetahui tujuan, kemauan yang terbersit dalam benaknya. Jika itu merupakan hak dan tanggung jawab, maka ia wajib melakukannya, dan jika berupa hal yang dilarang maka wajib menjauhinya. Allah berfirman pada Nabi-Nya:

"Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan untuk mengingat Kami, serta mengikuti hawa nafsunya, dan sementara keadaannya telah melewati batas." (QS. Al-Kahfi: 28)

Orang yang meninggalkan salah satu dari berbagai kondisi spiritual sebagaimana yang telah disebutkan, hanyalah karena faktor kelalaian yang telah menyelimuti hatinya.

Perlu anda ketahui, bahwa hasil pemikiran kaum Sufi dalam memahami makna-makna ilmu ini dan mengetahui tentang seluk beluk dan hakikatnya, seharusnya lebih luas daripada hasil pemikiran para ahli fiqih dalam memahami makna-makna hukum zhahir (syariat). Sebab ilmu itu tidak memiliki batas tertentu, karena merupakan isyarat, bersitan pada hati, kata hati, pemberian dan karunia yang direguk oleh para ahlinya dari lautan karunia Tuhan. Sementara ilmu-ilmu yang lain memiliki batas tertentu. Dan semua itu akan bermuara pada tasawuf, sedangkan ilmu tasawuf hanya akan tetap bermuara pada ilmu tasawuf sendirian, yang tak memiliki batas tertentu, karena Dzat Yang dituju tidak memiliki batas. Ilmu ini adalah ilmu futuh (yang ALLAH SWT. bukakan pada hati para wali-Nya) dalam memahami firman-Nya dan mengambil kesimpulan dari isyarat-isyarat seruan-Nya. Allah berfiman,

"Katakanlah (wahai Muhammad): Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)." (QS. al-Kahfi: 109).

Allah swt. juga berfirman,

"Andaikan kalian bersyukur maka akan Aku tambah (rahmat-Ku)." (QS. Ibrahim: 7)

Sementara tambahan dari Allah itu tentu tak ada batasnya. Sedangkan syukur adalah nikmat yang juga harus disyukuri, sehingga mengakibatkan adanya tambahan nikmat yang tak terbatas. Dan semoga Allah memberi taufik kepada kita.

Ciri Khas Kaum Sufi Yang Tidak Sama Dengan Tingkatan Orang-Orang Yang Berilmu Dalam Pengertian Yang Lain


Kitab Al Luma' Fi Al Tashawwuf - MUKADIMMAH: VI. Ciri Khas Kaum Sufi Yang Tidak Sama Dengan Tingkatan Orang-Orang Yang Berilmu Dalam Pengertian Yang Lain

(RUJUKAN LENGKAP ILMU TASAWWUF)

Tulisan Abu Nashr Abdullah bin Ali as-Sarraj ath-Thusi yang diberi gelar Thawus al-Fuqara' (Si Burung Merak orang-orang fakir Sufi)

Syekh Abu Nashr as-Sarraj -- rahimahullah -- berkata: Kaum Sufi juga memiliki ciri khas yang berbeda dengan tingkatan orang-orang berilmu, dalam menggunakan ayat-ayat dari kitab ALLAH SWT. yang dibaca dan Hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan. Tidak ada satu ayat pun yang menyalin atau Hadis maupun Atsar yang menghilangkan hukum yang menganjurkan keutamaan akhlak, membahas tentang kemuliaan berbagai kondisi spiritual dan keutamaan amal, menceritakan tentang berbagai kedudukan spiritual (maqam) yang tinggi dalam agama, dan posisi-posisi terhormat yang hanya dikhususkan untuk kelompok orang-orang mukmin. Dimana para Sahabat dan Tabi'in selalu bergantung pada akhlak-akhlak tersebut. Dan itulah etika dan sopan santun Rasulullah saw., dan akhlak beliau yang mulia. Sebab Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah telah membina mental (akhlak) ku, kemudian Dia membinanya dengan sangat baik." (HR. Al-Askari dari Ali r.a)

Disamping itu ALLAH SWT. juga telah menegaskan dalam firman-Nya:

"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung." (QS. Al-Qalam: 4)

Semua itu tertera dalam dokumen dan kitab-kitab para ulama dan ahli fiqih. Sementara pemahaman mereka dalam mengambil kesimpulan dan penggalian hukum berbeda dengan para Sufi dalam memahami ilmu-ilmu yang lain. Sedangkan orang-orang berilmu yang menegakkan keadilan, selain para Sufi tidak memiliki bagian tersebut, kecuali mereka harus mengakui dan mempercayai, bahwa hal itu benar. Hal-hal tersebut adalah seperti hakikat tobat dan sifat-sifatnya, derajat orang-orang yang bertobat dan hakikatnya, masalah-masalah (wara') yang sulit dipahami dan kondisi orang-orang yang wara' (jaga diri dari syubhat), tingkatan orang-orang yang bertawakal, kedudukan orang-orang yang ridha dan derajat orang-orang yang sabar. Demikian pula dalam masalah kekhusyu'an, merendah dihadapan Allah swt. dan takut ancaman siksa-Nya, cinta (mahabbah) dan takut (khauf), penuh harap (raja') dan rindu (syauq), kesaksian hati nurani dengan penuh hadir (musyahadah), kembali dan bertobat dari berbuat maksiat (inabah) dan ketenangan (thuma'ninah).

"Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar beriman adalah mereka yang apabila disebutkan Nama Allah tergetarlah hatinya." (QS. Al-Anfal: 2)

Demikian pula masalah yakin dan puas dengan apa yang ada (qana'ah).

Sementara masalah kondisi spiritual mereka lebih banyak yang tidak mungkin bisa dihitung jumlahnya. Dimana setiap kondisi spiritual (hal) terdapat orang yang ahli dan tingkatan masing-masing. Mereka memiliki berbagai hakikat dan musyahadah, hal, muraqabah, rahasia hati (asrar), ijtihad, kedudukan (maqam) dan derajat yang berbeda-beda. Mereka juga memiliki keinginan (iradah) yang berbeda-beda. Mereka juga tidak sama dalam masalah kuatnya keinginan, menghadang kekosongan dan memenangkan rasa cinta dan penghayatan hati nurani (wajd). Masing-masing kondisi spiritual tersebut ada batas dan posisinya, ilmu dan penjelasannya, sesuai dengan apa yang telah dianugrahkan Allah Azza wa Jalla.

Dan salah satu nikmat paling agung yang menjadi ciri khas mereka adalah keberadaan mereka dalam muraqabah secara kontinuitas, dimana ia merupakan realisasi dari tingkatan ihsan.

(1) Para Sufi juga memiliki ciri khas dalam mengetahui rasa tamak dan angan-angan panjang serta masalahnya yang rumit, mengetahui nafsu dan amarahnya serta gejolak-gejolaknya yang berbahaya, masalah-masalah riya' (pamer) yang tidak jelas, syahwat yang tersembunyi serta syirik yang samar. Mereka pun tahu, bagaimana cara menyelamatkan diri dari jeratnya, berlindung diri pada Allah Azza wa Jalla, berlindung diri kepada Allah dengan sebenarnya, melanggengkan rasa perlu segala kebutuhan kepada Allah, tunduk dan berserah diri kepada-Nya, serta membebaskan diri dari adanya usaha dan kekuatan diri sendiri.

(2) Kaum Sufi juga memiliki kesimpulan-kesimpulan hukum dari berbagai ilmu yang sulit dipahami oleh para ulama fqih dan ulama yang lain. Karena hal itu adalah latha'if (hal-hal yang sangat pelik dan lembut) yang terdapat pada isyarat-isyarat mereka, dimana hal itu tidak bisa jelas bila diungkapkan, karena sangat samar dan lembutnya. Dan itu adalah dalam kategori berbagai rintangan, penghalang, berbagai keterikatan dengan makhluk, tabir (hijab), rahasia-rahasia hati yang tersembunyi, berbagai kedudukan (maqam) ikhlas, kondisi spiritual ma'rifat, hakikat penghambaan ('ubudiah), hilangnya alam bila dibandingkan dengan yang azali, sinarnya makhluk yang huduts (baru) jika di bandingkan dengan Yang Maha Qadim, hilang (fana)nya penglihatan terhadap berbagai anugrah. Kekekalan melihat Sang Maha Pemberi akibat hancurnya penglihatan terhadap pemberian, berlalunya berbagai kondisi dan kedudukan spiritual, mengumpulkan hal yang beranekaragam, fananya melihat tujuan akibat kekekalan melihat Dzat yang dituju, berpaling dari melihat pemberian dan tidak pernah berpaling dari Dzat yang dituju, menceburkan diri dalam menempuh jalan-jalan yang penuh risiko dan melintasi "padang sahara" yang penuh bahaya.

Kaum Sufi adalah kaum yang memiliki kekhususan di kalangan orang-orang berilmu yang menegakkan keadilan dan memecahkan berbagai kesulitan yang sulit diselesaikan. Merekalah yang akan memecahkan persoalan-persoalan sulit yang ada, dengan cara langsung dan menyerangnya dengan cara mengerahkan jiwa dan raga, sehingga bisa memberitahukan tentang kelezatan dan cita rasanya, kekurangan dan kelebihannya. Merekalah yang akan menguak kebohongan orang-orang yang mengaku kaum Sufi dengan cara menuntut mereka untuk memberikan dalil-dalil dan membicarakan tasawuf yang benar dan yang salah. Tentu saja manusia seperti ini sangat sedikit jumlahnya, karena memang jarang yang sampai kesana.

Semua ilmu tersebut berada dalam Kitab Allah Azza wa Jalla dan Sunnah Rasulullah saw., yang dipahami oleh para ahlinya yang tak mungkin seorang ulama pun akan mengingkarinya tatkala mereka mencarinya.

Orang-orang yang mengingkari ilmu tasawuf hanyalah sekelompok orang yang bercirikan ilmu zhahir (kulit). Sebab hukum-hukum yang mereka pahami dari kitab Allah dan Hadis-hadis Rasulullah saw. hanya sebatas hukum lahiriah dan yang layak untuk dijadikan argumentasi terhadap orang-orang yang menentangnya. Sementara itu, manusia di zaman kita sekarang ini memang lebih cenderung kesana, karena lebih gampang untuk mencari kedudukan dan posisi dimata orang-orang awam. Dan cara ini pula yang paling gampang untuk bisa sampai pada dunia.

Sungguh sangat sedikit orang yang menyibukkan diri dengan ilmu batin sebagaimana yang telah kami sebutkan. Karena ilmu ini ilmu khusus yang selalu saja dikepung dengan kepahitan, kepedihan dan rintangan. Sementara mendengarnya saja akan melemahkan lutut, menyedihan hati, membuat air mata mengalir deras, mengecilkan yang agung dan mengagungkan yang kecil. Lalu bagaimana menggunakan dan melaksanakannya secara langsung, merasakan cita rasanya padahal jiwa tidak cenderung kesana. Sebab ilmu itu berusaha membunuh hawa nafsu, menghilangkan rasa dan menjauhi tujuan dunia. Karenanya, tak heran jika banyak ulama banyak meninggalkan ilmu ini, kemudian menyibukkan diri dengan ilmu yang biaya pengorbanannya lebih murah dan ringan, yang sering mendorong mereka pada penakwilan, kemudahan-kemudahan dan keringanan, bahkan kadang-kadang lebih condong pada kenikmatan manusiawi, lebih suka mentolerir nafsu dimana ia diciptakan sesuai watak dan kodratinya cenderung mengikuti kesenangan dan lari dari hak dan tanggung jawab. Dan hanya Allah swt. Yang Mahatahu.

2024-03-17

Ciri Khas Kaum Sufi Dan Etika, Kondisi Dan Ilmu Yang Membedakan Mereka Dari Ulama Yang Lain


Kitab Al Luma' Fi Al Tashawwuf - MUKADIMMAH: V. Ciri Khas Kaum Sufi Dan Etika, Kondisi Dan Ilmu Yang Membedakan Mereka Dari Ulama Yang Lain

(RUJUKAN LENGKAP ILMU TASAWWUF)

Tulisan Abu Nashr Abdullah bin Ali as-Sarraj ath-Thusi yang diberi gelar Thawus al-Fuqara' (Si Burung Merak orang-orang fakir Sufi)

Syekh Abu Nashr as-Sarraj -- rahimahullah -- berkata: Hal pertama yang merupakan ciri khas kaum Sufi yang membedakannya dari ulama yang lain setelah mereka bisa melakukan semua kewajiban dan meninggalkan larangan, adalah meninggalkan hal-hal yang tidak dianggap perlu dan penting, memutus semua hubungan yang hanya akan menghambat antara mereka dengan apa yang diinginkan dan dituju. Sebab yang menjadi maksud dan tujuannya tak lain adalah al-Haq, Allah Azza wa Jalla.

Mereka memiliki adab (etika) dan kondisi spiritual yang beragam. Di antaranya adalah, merasa puas (qana'ah) dengan sedikit materi (dunia), sehingga tidak perlu yang banyak, mencukupkan diri dengan mengonsumsi makanan yang menjadi kebutuhan pokok. Sangat sederhana dalam sarana hidup yang tak mungkin ditinggalkan, seperti pakaian, tempat tidur, makanan dan lain-lain. Mereka lebih memilih miskin daripada kaya. Mereka bergelut dengan kesederhanaan dan menghindari kemewahan. Lebih memilih lapar daripada kenyang, sesuatu yang sedikit daripada yang banyak. Mereka tinggalkan kedudukan dan posisi terhormat (dimata manusia). Mereka korbankan pangkat dan kedudukan. Mereka curahkan kasih sayang kepada senua makhluk, ramah sopan dan rendah hati kepada yang muda maupun yang tua. Mengutamakan orang lain meskipun saat itu masih membutuhkannya. Mereka tidak pernah iri dan dengki serta tidak perduli terhadap mereka yang memiliki harta melimpah. Dirinya selalu berprasangka baik kepada Allah swt., ikhlas ketika bersaing dalam melakukan ketaatan dan kebaikan. Dirinya selalu menghadap kepada Allah swt. dan mencurahkan segalanya hanya untuk-Nya. Selalu bertahan dalam menghadapi cobaan dan bencana yang diberikan-Nya, rela (ridha) akan ketentuan (qadha')-Nya, bersabar dalam berjuang dan menggempur hawa nafsunya. Selalu menghindari kesukaan-kesukaan nafsu dan selalu menentangnya. Karena Allah telah menjelaskan, bahwa nafsu akan selalu memerintah kejelekan (amarah bi-su'), dan melihatnya sebagai musuh terbesar yang selalu berdampingan dengan Anda, sebagaimana sabda Nabi,

"Musuh engkau yang paling besar adalah hawa nafsu yang ada dalam dirimu sendiri." (HR. Al-Baihaqi)

(1). Dan diantara mereka etika (adab) dan prilaku mereka adalah selalu menjaga rahasia-rahasia hatinya dan selalu muraqabah (menjaga hak-hak Tuhan yang Mahaagung). Senantiasa menjaga hatinya, dengan membersihkannya dari bisikan-bisikan jelek, menenangkan pikiran-pikiran yang sibuk, dimana hanya Allah Yang mengetahuinya. Sehingga mereka menyembah Allah dengan penuh konsentrasi (hati yang hadir), tekad yang menyatu, niat yang murni dan maksud yang tulus. Sebab Allah swt. tidak menerima perbuatan-perbuatan hamba-Nya yang tidak ditujukan murni untuk-Nya. Allah berfirman,

"Ingatlah!! Hanya kepunyaan Allah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az-Zumar: 3).

(2). Wusul kepada al-Haq yang menjadi tujuan utamanya, ia tidak menginginkan yang lain selain apa yang dikehendaki-Nya.

Ini hanyalah awal sesuatu yang tampak dari berbagai hakikat yang muncul dan hakikat suatu kebenaran. Apakah Anda tidak melihat, bahwa Nabi pernah bertanya kepada Haritsah r.a.

"Setiap kebenaran (haq) tentu memiliki hakikat. Lalu apa hakikat keimananmu?"

Rahasia Karomah Para Wali


Banyak umat Islam dari kalangan pengikut ajaran ulama tradisional/salafiyah terus mencari jawaban tentang rahasia kesaktian para wali Allah yang lazimnya disebut karomah. Yang dengan karomah itu menjadikan para wali sebagai orang yang memiliki kemampuan "WERUH SAKDURUNGE WINARAH SECIDUH METU SEUCAP NYATA". Secara umum, tentu saja para pencari jawaban itu pun sudah bisa menjawabnya sendiri karena para wali itu merupakan orang-orang yang dikasihi Allah. Sudah sepantasnyalah sebagai para kekasih Allah, para wali memiliki karomah sebagai anugrah dari jerih payahnya yang selalu bertakwa dan bertawakal kepada-Nya.
 
Bertakwa artinya menjalankan semua perintah Allah dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya tanpa kecuali.
 
Bertawakal artinya selalu menggantungkan diri kepada Allah dalam menjalani hidupnya, semua yang dilakukannya hanya untuk dan kepada Allah.  Dalam melakukan ibadahnya, para wali juga terkadang tidak lagi memperdulikan akan keadaan dirinya. Mereka tidak takut karena hidup kekurangan atau sedih karena tidak ada makanan, yang diingat dan dilakukannya hanyalah melaksanakan ibadah kepada Allah, sebagaimana disinggung di dalam al-Qur'an:

أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ. الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. (QS. Yunus: 62 -63)

Dalam melakukan ibadah-ibadahnya, selain melakukan ibadah yang wajib, para wali juga terus-menerus melakukan berbagai peribadatan yang sunat, khususnya dzikir yang tiada henti-hentinya tanpa mengenal waktu dan keadaan; sambil duduk, sambil berbaring, sambil berdiri, sambil diam, atau sambil jalan dalam setiap tarikan dan hembusan nafasnya yang dikenal dengan istilah "dzikir nufus". Karena ibadah-ibadahnya yang tiada henti-hentinya itu, membuat para wali dicintai oleh Allah. Karena dicintai Allah, maka tidaklah, mengherankan kalau para wali mendapat karomah sebagai kemuliaan dari Allah bagi dirinya. Yang menjadi pertanyaannya adalah:

"APA SEBENARNYA KAROMAH ITU?" 

Atas pertanyaan tersebut, penulis mendapatkan jawabannya dari Al-Hadits berikut:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman, ’Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, Akulah yang menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan Akulah yang menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.... Aku tidak pernah ragu-ragu terhadap sesuatu yang Aku kerjakan seperti keragu-raguan-Ku tentang pencabutan nyawa orang mukmin. Ia benci kematian dan Aku tidak suka menyusahkannya.""  [HR. Bukhari]

Dari Al-Hadits tersebut dikatakan dengan jelas bahwa Alloh akan mewakili perbuatan orang yang dicintainya. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila para wali memiliki kemampuan: weruh sadurung winara seciduh metu saucap nyata  karena Allah mewakili penglihatan, ucapannya dan perbuatan lainnya sebagai tanda cinta-Nya kepada hamba yang terus mengabdi kepada-Nya. Apa yang tidak bagi Allah karena semua yang ada, Dia-lah yang mengadakannya. Jadi, itulah rahasia kesaktian para wali!

Berkaitan dengan karomah para wali itu, pantas saja apabila Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani menghendaki sesuatu beliau selalu berkata: "WA AMRII BI AMRILAAHI KUN ... YAKUN (Perintahku dengan perintah Allah, 'Jadi'..., akan jadi)". Demikian pula, waliyulloh Abdullah bin Syamhurus Al-Buhuri Wal-Anhar, beliau juga apabila menghendaki sesuatu selalu mengatakan: "BIAMRILAHII WABIFADHLIHI KUN ... YAKUN (Dengan perintah Alloh dan keutamaan-Nya, 'Jadi' ..., akan jadi)"  

Al-Hadits tersebut tadi, selain mengungkap rahasia kesaktian para wali, juga memberikan isyarat bagaimana caranya menjadi wali Allah, yaitu dengan menjalankan berbagai peribadatan, baik yang wajib maupun yang sunat.
 
Namun, mungkin para pembaca bertanya dalam jiwa:
"Saya sudah melakukan itu, tapi mengapa tidak menjadi wali?".

Berkenaan dengan pertanyaan pembaca tersebut, keterangan dari Aisyah barangkali merupakan jawabannya bahwa Rosululloh, Sholallohu Alaihi Wassalam selalu melakukan sholat malam hingga "kaki beliau menjadi bengkak". Hal itu mengisyaratkan bahwa Rosululloh melakukan shaolat malamnya dalam jumlah yang sangat banyak. Sebagaimana Ali, melakukan sholat malam itu seribu rakaat setiap malamnya. Sedangkan Usman, selalu melakukan dua rakaat sholat malamnya dengan mengkhatamkan Al-Qur'an dalam tiap rakaatnya, dan selalu berpuasa sepanjang tahunnya kecuali pada hari yang diharamkan berpuasa. Kemampuan Usman dalam melaksanakan sholat malam dengan menghatamkan Al-Qur'an dua kali, juga menunjukkan bahwa dalam perut Usman nyaris tidak ada makanan karena kalau perut orang normal mustahil tidak buang angin semalaman. Demikian pula sahabat-sahabat lainnya, dan para ahli ibadah selalu melakukan ibadah-ibadah sunat itu dalam jumlah yang mungkin kita tidak akan pernah mampu melakukannya.   

Demikian uraian ringkas tentang rahasia kesaktian para wali. Walaupun sangat ringkas, semoga bermanfaat.